Indonesia dan AFTA
21
06
2007
Asean
Free Trade Area (AFTA) adalah bentuk dari kerjasama perdagangan dan
ekonomi di wilayah ASEAN yang berupa kesepakatan untuk menciptakan
situasi perdagangan yang seimbang dan adil melalui penurunan tarif
barang perdagangan dimana tidak ada hambatan tariff (bea masuk 0 – 5 %)
maupun hambatan non tariff bagi negara-negara anggota ASEAN.
AFTA disepakati pada tanggal 28 Januari 1992 di Singapura. Pada awalnya ada enam negara yang menyepakati AFTA, yaitu: Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Vietnam bergabung dalam AFTA tahun 1995, sedangkan Laos dan Myanmar pada tahun 1997, kemudian Kamboja pada tahun 1999.
Tujuan
AFTA adalah meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan
menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik
investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota ASEAN. Dalam
kesepakatan, AFTA direncanakan berpoerasi penuh pada tahun 2008 namun
dalam perkembangannya dipercepat menjadi tahun 2003.
Mekanisme
utama untuk mencapai tujuan di atas adalah skema “Common Effective
Preferential Tariff” (CEPT) yang bertujuan agar barang-barang yang
diproduksi di antara negara ASEAN yang memenuhi ketentuan
setidak-tidaknya 40 % kandungan lokal akan dikenai tarif hanya 0-5 %.
Anggota ASEAN mempunyai tiga pengecualian CEPT dalam tiga kategori :
(1) pengecualian sementara,
(2) produk pertanian yang sensitif
(3) pengecualian umum lainnya (Sekretariat ASEAN 2004)
Untuk
kategori pertama, pengecualian bersifat sementara karena pada akhirnya
diharapkan akan memenuhi standar yang ditargetkan, yakni 0-5 %.
Sedangkan untuk produk pertanian sensitif akan diundur sampai 2010.
Dapat disimpulkan, paling lambat 2015 semua tarif di antara negara ASEAN
diharapkan mencapai titik 0 %.
AFTA
dicanangkan dengan instrumen CEPT, yang diperkenalkan pada Januari
1993. ASEAN pada 2002, mengemukakan bahwa komitmen utama dibawah
CEPT-AFTA hingga saat ini meliputi 4 program, yaitu :
1. Program pengurangan tingkat tarif yang secara efektif sama di antara negara- negara ASEAN hingga mencapai 0-5 persen.
2. Penghapusan hambatan-hambatan kuantitatif (quantitative restrictions) dan hambatan-hambatan non-tarif (non tariff barriers).
3. Mendorong kerjasama untuk mengembangkan fasilitasi perdagangan terutama di bidang bea masuk serta standar dan kualitas.
4. Penetapan kandungan lokal sebesar 40 persen.
PEMBAHASAN
Untuk
Indonesia, kerjasama AFTA merupakan peluang yang cukup terbuka bagi
kegiatan ekspor komoditas pertanian yang selama ini dihasilkan dan
sekaligus menjadi tantangan untuk menghasilkan komoditas yang kompetitif
di pasar regional AFTA.
Upaya
ke arah itu, nampaknya masih memerlukan perhatian serta kebijakan yang
lebih serius dari pemerintah maupun para pelaku agrobisnis, mengingat
beberapa komoditas pertanian Indonesia saat ini maupun di masa yang akan
datang masih akan selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan dalam
peningkatan produksi yang berkualitas, permodalan, kebijakan harga dan
nilai tukar serta persaingan pasar di samping iklim politis yang tidak
kondusif bagi sektor pertanian.
Diharapkan
dengan diberlakukannya otonomi daerah perhatian pada sektor agribisnis
dapat menjadi salah satu dorongan bagi peningkatan kualitas produk
pertanian sehingga lebih kompetitif di pasar lokal, regional maupun
pasar global, dan sekaligus memberikan dampak positif bagi perekonomian
nasional maupun peningkatan pendapatan petani dan pembangunan daerah.
Secara
umum, situasi ekonomi Indonesia sangat sulit. Perdagangan Indonesia
dalam kurun 2000-2002 melemah, baik dalam kegiatan ekspor maupun impor.
Kondisi ekonomi makro ditambah stabilitas politik yang tidak mantab
serta penegakan hukum dan keamanan yang buruk ikut mempengaruhi daya
saing kita dalam perdagangan dunia.
Memang,
secara umum, beberapa produk kita siap berkompetisi. Misalnya, minyak
kelapa sawit, tekstil, alat-alat listrik, gas alam, sepatu, dan garmen.
Tetapi, banyak pula yang akan tertekan berat memasuki AFTA. Di
antaranya, produk otomotif, teknologi informasi, dan produk pertanian.
Dalam
AFTA, peran negara dalam perdagangan sebenarnya akan direduksi secara
signifikan. Sebab, mekanisme tarif yang merupakan wewenang negara
dipangkas. Karena itu, diperlukan perubahan paradigma yang sangat
signifikan, yakni dari kegiatan perdagangan yang mengandalkan proteksi
negara menjadi kemampuan perusahaan untuk bersaing. Tidak saja secara
nasional atau regional dalam AFTA, namun juga secara global. Karena itu,
kekuatan manajemen, efisiensi, kemampuan permodalan, dan keunggulan
produk menjadi salah satu kunci keberhasilan.
Persoalan yang dihadapi oleh Indonesia
Dalam
menghadapi AFTA, Indonesia sebagai salah satu Negara anggota ASEANmasih
memiliki beberapa kendala yang menunjukan ketidaksiapan kita dalam
menghadapi AFTA, diantanya adalah; dari segi penegakan hukum, sudah
diketahui bahwa sektor itu termasuk buruk di Indonesia. Jika tak ada
kepastian hukum, maka iklim usaha tidak akan berkembang baik, yang mana
hal tersebut akan menyebabkana biaya ekonomi tinggi yang berpengaruh
terhadap daya saing produk dalam pasar internasional.
Faktor
lain yang amat penting adalah lembaga-lembaga yang seharusnya ikut
memperlancar perdagangan dan dunia usaha ternyata malah sering
diindikasikan KKN. Akibat masih meluasnya KKN dan berbagai pungutan yang
dilakukan unsure pemerintah di semua lapisan, harga produk yang
dilempar ke pasar akan terpengaruhi. Otonomi daerah yang diharapkan akan
meningkatkan akuntabilitas pejabat publik dan mendorong ekonomi lokal
ternyata dipakai untuk menarik keuntungan sebanyak-banyaknya dari dunia
usaha tanpa menghiraukan implikasinya. Otonomi malah menampilkan sisi
buruknya yang bisa mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar
dunia.
Persoalan
lain yang harus dihadapi adalah kenyataan bahwa perbatasan Indonesia
sangat luas, baik berupa lautan maupun daratan, yang sangat sulit
diawasi. Akibatnya, terjadi banjir barang selundupan yang melemahkan
daya saing industri nasional. Miliaran dolar amblas setiap tahun akibat
ketidakmampuan menjaga perbatasan dengan baik. Menurut taksiran
kemampuan TNI-AL, sekitar 40 persen dari seharusnya digunakan untuk
mengamankan lautan akibat kekuarangan dana dan sarana yang lain. Kendala
utama bagi masyarakat Indonesia adalah mengubah pola pikir, baik di
kalangan pejabat, politisi, pengusaha, maupun tenaga kerja. Mengubah
pola pikir ini sangat penting bagi keberhasilan kita memasuki AFTA.
Namun,
selain menghadapi berbagai persoalan, AFTA jelas juga membawa sejumlah
keuntungan. Pertama, barang-barang yang semula diproduksi dengan biaya
tinggi akan bisa diperoleh konsumen dengan harga lebih murah. Kedua,
sebagai kawasan yang terintegrasi secara bersama-sama, kawasan ASEAN
akan lebih menarik sebagai lahan investasi. Indonesia dengan sumber daya
alam dan manusia yang berlimpah mempunyai keunggulan komparatif. Namun,
peningkatan SDM merupakan keharusan. Ternyata, kemampuan SDM kita
sangat payah dibandingkan Filipina atau Thailand.
Berdasarkan
peraturan Pemerintah Nomer 63 tahun 1999, pihak asing dimungkinkan
untuk mempunyai saham hampir 99 persen. Jadi jika ingin menambah
sahamnya, sedangkan partner lokalnya tidak mampu, maka saham partner
lokal menjadi terdivestasi.
Dampak AFTA
Ada
banyak dampak suatu perjanjian perdagangan bebas, antara lain
spesialisasi dan peningkatan volume perdagangan. Sebagai contoh, ada dua
negara yang dapat memproduksi dua barang, yaitu A dan B, tetapi kedua
negara tersebut membutuhkan barang A dan B untuk dikonsumsi.
Secara
teoretis, perdagangan bebas antara kedua negara tersebut akan membuat
negara yang memiliki keunggulan komparatif (lebih efisien) dalam
memproduksi barang A (misalkan negara pertama) akan membuat hanya barang
A, mengekspor sebagian barang A ke negara kedua, dan mengimpor barang B
dari negara kedua.
Sebaliknya,
negara kedua akan memproduksi hanya barang B, mengekspor sebagian
barang B ke negara pertama, dan akan mengimpor sebagian barang A dari
negara pertama. Akibatnya, tingkat produksi secara keseluruhan akan
meningkat (karena masing-masing negara mengambil spesialisasi untuk
memproduksi barang yang mereka dapat produksi dengan lebih efisien) dan
pada saat yang bersamaan volume perdagangan antara kedua negara tersebut
akan meningkat juga (dibandingkan dengan apabila kedua negara tersebut
memproduksi kedua jenis barang dan tidak melakukan perdagangan).
Saat
ini AFTA sudah hampir seluruhnya diimplementasikan. Dalam perjanjian
perdagangan bebas tersebut, tarif impor barang antarnegara ASEAN secara
berangsur-angsur telah dikurangi. Saat ini tarif impor lebih dari
99 persen dari barang-barang yang termasuk dalam daftar Common
Effective Preferential Tariff (CEPT) di negara-negara ASEAN-6 (Brunei,
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) telah diturunkan
menjadi 5 persen hingga 0 persen.
Sesuai
dengan teori yang dibahas di atas, AFTA tampaknya telah dapat
meningkatkan volume perdagangan antarnegara ASEAN secara signifikan.
Ekspor Thailand ke ASEAN, misalnya, mengalami pertumbuhan sebesar 86,1
persen dari tahun 2000 ke tahun 2005. Sementara itu, ekspor Malaysia ke
negara-negara ASEAN lainnya telah mengalami kenaikan sebesar 40,8 persen
dalam kurun waktu yang sama.
Adanya
AFTA telah memberikan kemudahan kepada negara-negara ASEAN untuk
memasarkan produk-produk mereka di pasar ASEAN dibandingkan dengan
negara-negara non-ASEAN. Untuk pasar Indonesia, kemampuan negara-negara
ASEAN dalam melakukan penetrasi pasar kita bahkan masih lebih baik dari
China. Hal ini terlihat dari kenaikan pangsa pasar ekspor negara ASEAN
ke Indonesia yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan pangsa
pasar China di Indonesia.
Pada
tahun 2001 pangsa pasar ekspor negara-negara ASEAN di Indonesia
mencapai 17,6 persen. Implementasi AFTA telah meningkatkan ekspor
negara-negara ASEAN ke Indonesia. Akibatnya, pangsa pasar ASEAN di
Indonesia meningkat dengan tajam. Dan pada tahun 2005 pangsa pasar
negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 29,5 persen.
Berbeda
dengan anggapan kita selama ini bahwa ternyata daya penetrasi
produk-produk China di Indonesia tidak setinggi daya penetrasi
produk-produk negara ASEAN. Pada tahun 2001 China menguasai sekitar 6,0
persen dari total impor Indonesia. Pada tahun 2005 baru mencapai 10,1
persen, masih jauh lebih rendah dari pangsa pasar negara-negara ASEAN.
Jadi, saat ini produk-produk dari negara ASEAN lebih menguasai pasar
Indonesia dibandingkan dengan produk-produk dari China.
Sebaliknya,
berbeda dengan negara-negara ASEAN yang lain, tampaknya belum terlalu
diperhatikan potensi pasar ASEAN, dan lebih menarik dengan pasar-pasar
tradisional, seperti Jepang dan Amerika Serikat. Hal ini terlihat dari
pangsa pasar ekspor kita ke negara-negara ASEAN yang tidak mengalami
kenaikan yang terlalu signifikan sejak AFTA dijalankan. Pada tahun 2000,
misalnya, pangsa pasar ekspor Indonesia di Malaysia mencapai 2,8
persen. Dan pada tahun 2005 hanya meningkat menjadi 3,8 persen. Hal yang
sama terjadi di pasar negara-negara ASEAN lainnya.
Produsen
internasional tidak harus mempunyai pabrik di setiap negara untuk dapat
menyuplai produknya ke negara-negara tersebut. Produsen internasional
dapat memilih satu negara di kawasan ini untuk dijadikan basis
produksinya dan memenuhi permintaan produknya di negara di sekitarnya
dari negara basis tersebut. Turunnya tarif impor antarnegara ASEAN
membuat kegiatan ekspor-impor antarnegara ASEAN menjadi relatif lebih
murah dari sebelumnya. Tentunya negara yang dipilih sebagai negara basis
suatu produk adalah yang dianggap dapat membuat produk tersebut dengan
lebih efisien (spesialisasi).
Negara-negara
di kawasan ini tentunya berebut untuk dapat menjadi pusat produksi
untuk melayani pasar ASEAN karena semakin banyak perusahaan yang memilih
negara tersebut untuk dijadikan pusat produksi, akan semakin banyak
lapangan kerja yang tersedia. Sayangnya, Indonesia tampaknya masih
tertinggal dalam menciptakan daya tarik untuk dijadikan pusat produksi.
Kesiapan Indonesia
Infrastruktur
dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia dinilai belum siap menghadapi
ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau pasar bebas ASEAN mulai 2015. “Kita
semua tahu bagaimana kualitas SDM dan infrastruktur kita, padahal pasar
bebas ASEAN itu tidak lama lagi,” kata pengamat politik ekonomi
internasional UI, Beginda Pakpahan, di Jakarta. Ia mengatakan pada
dasarnya FTA (Free Trade Area) sangat potensial untuk memperluas
jejaring pasar sekaligus menambah insentif, karena tidak adanya lagi
pembatasan kuota produk.
Namun,
bagi Indonesia bukan melulu keuntungan, sebab FTA juga bisa menjadi
ancaman bila pemerintah RI tidak mempersiapkan SDM dan infrastruktur
dalam negeri. Dampak terburuk justru mengancam masyarakat lapisan paling
bawah, seperti petani gurem dan pedagang kecil. Saat ini Indonesia
setidaknya berada di peringkat keenam di ASEAN di luar negara-negara
yang baru bergabung (Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar).
Selain
SDM, infrastruktur di tanah air juga belum mendukung untuk menghadapi
AFTA. Indonesia harus bisa menjadi pengelola atau tidak melulu menjadi
broker atau mediator dalam perdagangan bebas. Agenda terdekat menjelang
era pasar bebas, Indonesia harus bisa membenahi dan menyelesaikan
kepemimpinan nasional, mewujudkan “good corporate governance“,
dan membenahi birokrasi sekaligus memberantas korupsi. Selain itu, DPR
juga harus sejalan dengan pemerintah dalam masa-masa krisis dan
membenahi jajaran TNI/POLRI.
Yang
harus dilakukan Indonesia agar dapat dengan baik menghadapi AFTA dan
dapat bersaing dengan Negara-negara lain di dalamnya adalah :
Pemantapan Organisasi Pelaksanaa AFTA
AFTA sebagai suatu kegiatan baru dalam kerjasama ASEAN harus didukung oleh
struktur organisasi yang kuat agar pelaksanaannya dapat berjalan sebagaimana
mestinya.
Struktur organisasi yang kuat sangat diperlukan karena AFTA harus
dilaksanakan dengan baik, adil dan terarah sehingga dapat dimanfaatkan
secara maksimal dan merata. Juga diperlukan pengawasan yang ketat untuk
menjaga agar jangan sampai terjadi kecurangan dalam pelaksanaan
perdagangan yang akan merugikan negara tertentu.
Promosi dan Penetrasi Pasar
Kenyataan
menunjukkan bahwa volume perdagangan Indonesia dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN lainnya, adalah nomor dua terkecil setelah Filipina,
sedangkan volume perdagangan Indoensia dengan Singapura hanya 5,1
persen dari seluruh perdagangan intra-ASEAN. Keadaan tersebut
terutama
disebabkan oleh komoditas ekspor Indonesia belum banyak dikenal oleh
negara-negara ASEAN. Karena itu, keikutsertaan dalam pameran perdagangan
internasional perlu ditingkatkan. Peningkatan kunjungan dagang sangat
besar pula artinya dalam melakukan promosi dan penetrasi pasar hasil
produksi Indonesia.
Peningkatan Efisiensi Produksi Dalam Negeri
Untuk
meningkatkan efisiensi produksi dalam negeri, perlu diciptakan kondisi
persaingan yang sehat di antara sesama pengusaha agar tidak terdapat
“distorsi harga” bahan baku. Di samping itu, biaya-biaya non produksi
secara keseluruhan dapat ditekan. Dalam kaitan ini, kebijakan deregulasi
yang telah dijalankan Pemerintah sejak beberapa tahun yang lalu perlu
terus dilanjutkan dan diperluas kepada sektor-sektor riil yang langsung
mempengaruhi kegiatan produksi dan selanjutnya perlu diusahakan agar
pemberian fasilitas-fasilitas yang cenderung menciptakan kondisi
monopoli dalam pengelolaan usaha perlu dihilangkan.
Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia
Kualitas
sumberdaya manusia Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan
kualitas sumberdaya manusia negara ASEAN lainnya. Oleh karena itu, dalam
rangka menghadapi AFTA, usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia perlu lebih ditingkatkan dengan mengembangkan sekolah
kejuruan dan politeknik di masa mendatang.
Perlindungan Terhadap Industri Kecil
Pelaksanaan
AFTA akan mengakibatkan tingginya tingkat persaingan, sehingga hanya
perusahaan besar yang mampu terus berkembang. Perusahaan besar tersebut
di-perkirakan terus menekan industri kecil yang pada umumnya kurang
mampu bersaing dengan para konglomerat. Untuk melindungi industri kecil
tersebut, perlu diwujudkan sebuah undang-undang anti monopoli atau
membentuk suatu organisasi pemersatu perusahaan-perusahaan berskala
kecil.
Upaya Meningkatkan Daya Saing Sektor Pertanian
Dalam
upaya meningkatkan peran ekspor sektor pertanian, perlu dikembangkan
produk-produk unggulan yang mampu bersaing di pasar, baik pasar domestik
maupun pasar internasional. Pengembangan produk-produk unggulan
dilaksanakan melalui serangkaian proses yang saling terkait serta
membentuk suatu sistem agribisnis yang terdiri dari sistem pra produksi,
produksi, pengolahan dan pemasaran (Kartasasmita, 1996).
KESIMPULAN
AFTA adalah bentuk dari Free Trade Area di kawasan Asia Tenggara merupakan kerjasama regional dalam bidang ekonomi mempunyai
tujuan untuk meningkatkan volume perdagangan di antara negara anggota
melalui penurunan tarif beberapa komoditas tertentu, termasuk di
dalamnya beberapa komoditas pertanian, dengan tarif mendekati 0-5
persen. Inti AFTA adalah CEPT (Common Effective Preferential Tariff),
yakni barang-barang yang diproduksi di antara negara ASEAN yang
memenuhi ketentuan setidak-tidaknya 40 % kandungan lokal akan dikenai
tarif hanya 0-5 %.
Sampai
saat ini, CEPT masih merupakan hal yang sulit untuk dijalankan oleh
Negara-negara di ASEAN, hanya Singapura saja yang sudah dapat mengurangi
hambatan tarifnya sebesar 0 %, sedangakan Negara-negara ASEAN lainnya
masih berusaha untuk mencoba mengurangi hambatan tarifnya.
Indonesia
sebagai Negara yang menyetujui AFTA, sebentar lagi akan masuk ke dalam
era perdagangan bebas, sehingga bangsa ini akan bersaing dengan
bangsa-bangsa ASEAN lainnya. Dengan kondisi bangsa Indonesia dan
perekonomian Indonesia saat ini, Indonesia dapat dikatakan masih belum
siap dalam menghadapi persaingan global. Sumber daya manusia Indonesia
dengan masih banyaknya masyarakat dengan tingkat pendidikan dan keahlian
yang minim membuat Indonesia diprediksikan akan kalah dalam persaingan.
Situasi politik dan hukum di Indonesia yang amat sangat tidak pasti
juga menambah jumlah nilai minus Indonesia dalam menghadapi AFTA.
http://www.antara.co.id/arc/2007/4/4/infrastruktur-dan-sdm-indonesia-belum-siap-hadapi-afta/ (diakses pada tanggal 14 April 2007, Pk. 17.30 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar