Diikutsertakan dalam lomba opini Jurnalika Fair 2015
Indonesia,
dengan segala kekayaan alamnya, keragaman flora dan faunanya, keindahan wisata
bawah lautnya, negara dengan berjuta pulaunya, dan keragaman budaya nya. Yang
terdiri dari banyak suku bangsa, bahasa yang berbeda-beda setiap sukunya, beda
suku beda bentuk rumahnya, beda pakaian adatnya, sampai beda pula senjata
tradisionalnya. Rakyat Indonesia
tersebar dari Sabang sampai Marauke. Dimana ada beberapa daerah yang langsung
berbatasan dengan negara tetangga. Daerah-daerah di kawasan perbatasan bak serambi
rumah, karena disitulah pintu gerbang bagi masyarakat di negara tetangga dan
dunia untuk memasuki negara kita, demikian pula sebaliknya. Kondisi
daerah-daerah di wilayah perbatasan, khususnya perbatasan darat, dapat menjadi
tolok ukur kondisi suatu bangsa, layaknya kondisi serambi depan rumah yang
mencerminkan kondisi keseluruhan suatu
rumah. Lantas, bagaimanakah kondisi serambi negeri kita?
Di
daerah-daerah perbatasan darat Indonesia masih belum memadai, terutama
perbatasan darat Indonesia dengan Malaysia di Pulau Kalimantan. Perbedaan yang
sangat mencolok dapat dilihat dan dirasakan apabila kita berkendara menggunakan
jalur nasional dari Pontianak ke Entikong menuju Kuching dan kembali dari
Kuching menuju Entikong. Lihatlah perbedaannya, ketika Kuching di Malaysia
memiliki infrastruktur jalan yang memadai dan jalan tol dimana-mana, bagaikan
bumi dan langit dengan Entikong, yang menjadi daerah perbatasan yang jangankan
jalan tol, diaspal saja tidak. Dikala di
Kuching listrik dan signal dimana-mana bagaikan bumi dan langit di Etikong
listrik tidak ada, signalpun tidak ada sehingga mereka terpaksa mendapatkan
bantuan sumber listrik dan telekomunikasi dari negara Malaysia. Kuching menjadi
daerah pusat perdagangan, gedung tinggi dimana-mana, bagaikan bumi dan langit
dengan di Etikong jangankan pusat perdagangan, perumahan penduduk saja jarang.
Pemerintah Malaysia bisa membuat daerah perbatasannya tertata secara apik, sehingga
daerah perbatasan mereka terurusi dan menjadikan pintu gerbang negara mereka
tidak menjadi daerah yang terpencil, tertinggal dan terisolir.
Karena
perbedaan yang sangat mencolok inilah hingga masyarakat perbatasan sendiri
membandingkan Indonesia dan Malaysia ibarat surga dan neraka atau langit dan
bumi. Hal tersebut diatas antara lain tercermin dari fasilitas atau
infrastruktur yang cukup berbeda antara dua wilayah tersebut. Kondisi
infrastruktur di perbatasan Kalimantan Barat, sebagian besar jalan utama desa
di Wilayah perbatasan masih berupa tanah dan terdapat 6 desa yang media
transportasinya menggunakan sarana air. Sarana media elektronik khususnya
siaran televisi yang dominan di wilayah perbatasan merupakan TV saluran Luar
Negeri (31 desa) sedangkan yang mampu menangkap sinyal TV Nasional hanya 16
desa. Lebih lanjut terdapat 8 Kecamatan yang tidak mendapatkan sinyal TV. Terkait
telekomunikasi, tidak terdapat sinyal telepon di 39 desa, sementara 42 desa
terdapat sinyal meskipun lemah. Dari sisi sumber air, secara umum di wilayah
perbatasan masih cukup baik dimana 65 desa menggunakan sungai/danau sebagai
sumber air dan 32 desa menggunakan mata air sebagai sumber air. Seringnya
terjadi kelangkaan persediaan gas elpiji dan sembako membuat hampir semua
kebutuhan pokok warga Indonesia yang ada di perbatasan dipasok dari Malaysia.
Bahkan akibat pembangunan sarana dan prasarana, seperti sekolah, rumah sakit,
kantor polisi, dan lain sebagainya, yang tidak merata, warga kita bersekolah
maupun berobat ke Malaysia pun menjadi pemandangan biasa. Oleh karena itu,
peredaran uang ringgit di Entikong misalnya jauh lebih besar dibandingkan
rupiah karena mereka membeli barang-barang kebutuhan dasarnya ke Sarawak yang lebih
mudah dan murah aksesnya.
Beginikah
kondisi serambi negeri kita?. Apakah negara kita hanya terdiri dari Jakarta, Bandung,
Surabaya, dan Medan?. Mengapa pemerintah hanya sibuk mengurusi permasalahan di
Ibukota?. Lantas bagaimana nasib daerah-daerah di kawasan perbatasan yang
jalannya masih terputus dan wilayahnya masih terisolir?
Pemerintah
sebagai penyelenggara dan pengatur jalannya suatu negara seharusnya dapat
melakukan pembangunan yang merata. Khususnya di daerah perbatasan, karena
daerah perbatasn adalah pintu gerbang negeri ini. Di samping tetap menjaga
fungsi ketahanan dan keamanan, pemerintah juga perlu mengembangkan fungsi
ekonomi dan pariwisata di daerah-daerah perbatasan darat sehingga menarik warga
negara tetangga maupun negara lainnya untuk mau berkunjung ke negara kita.
Pembangunan dan ketersediaan prasarana dan sarana, khususnya infrastruktur
jalan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, listrik dan sanitasi, menjadi
faktor penentu bagi pengembangan daerah-daerah di kawasan perbatasan. Dengan baiknya infrastruktur di daerah
perbatasan, secara tidak langsung ikut menjaga daearah perbatasan kita. Kenapa ketika
mendengar tanah di perbatasan kita dicuri, kita sangat marah dan tidak terima?.
Itu adalah hal yang wajar jika kita sebagai pemilik negeri ini tidak
menjaganya.
Akankah
kita berdiam diri saja jika serambi negeri ini terabaikan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar